1. Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah,
2. dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya),
3. dan kuda yang menyerang tiba-tiba di waktu pagi,
4. maka ia menerbangkan debu,
5. dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,
Wa al-adiyat (Demi kuda perang yang berlari kencang–ayat 1). Jelasnya, demi
jiwa-jiwa yang berupaya keras dalam menempuh jalan Allah. Mereka
seperti lari kencang karena cepatnya perjalanan mereka dan
latihan-latihannya, serta kesungguhannya dalam upaya keras seperti kuda
perang yang lari kencang. Jiwa-jiwa itu “terengah-engah” karena demam
rindu.
Fa al-muriyati qadha (dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan [kuku kakinya]–ayat
2). Lalu jiwa-jiwa itu mencetuskan api dengan “korek” berbagai buah
perjuangan ruhani, menyibukkan diri dengan cahaya akal aktif,
memantikkan korek kontemplasi dan mensistemisasikan berbagai pengetahuan
dengan pikiran.
Fa al-mughirat shubha (dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi–ayat
3). Lalu jiwa-jiwa itu menyerang bagian-bagian luar yang terpaut dengan
dirinya, seperti hal-hal yang bersifat kebendaan, dan juga
bagian-bagian dalamnya seperti bentuk-bentuk sifat jiwa, dampak-dampak
perbuatan dan kecenderungan syahwat, bisikan wahm dan khayalan, dengan “cahaya subuh” penampakan diri Ilahi (tajalli), dan efek-efek terbitnya cahaya dan prinsip-prinsip penempuhan ruhani, seperti pemusatan diri kepada-Nya semata (tajrid).
Fa atsarna bihi naq’a (maka ia menerbangkan debu–ayat 4) dengan cahaya tajalli itu dan “subuh” hari kiamat besar; serta dengan debu “tanah” tubuh yang telah dihaluskan oleh riyadhah (latihan ruhani), dilembutkan oleh pencegahan tubuh untuk menikmati jatah-jatahnya karena tawajjuh kepada Al-Haqq
semata, menghadap kepada-Nya dengan gelora cinta, resah gelisahnya
daya-daya jiwa dalam mengikuti hati dan ruh, juga karena sibuknya jiwa
menerima berbagai cahaya. Tentang penghalusan debu “tanah” itu,
orang-orang Arab biasa berkata : Dia telah menghamburkan debu-debu
seseorang. Maksudnya, dia telah membinasakannya dan menjadikannya
seperti debu dalam kemusnahan.
Fa wasathna bihi (dan menyerbu ke tengah-tengah–ayat
5) hakikat Dzat dengan “subuh” dan cahayanya itu, lalu ia hanyut di
dalam-Nya. Lebih jelasnya, jiwa-jiwa itu melembutkan kekasaran “tanah”
tubuh sampai menjadi debu dalam hal kehalusannya, lalu dengan debu yang
amat halus itu jiwa menembus Kesatuan Dzat. Hal ini karena sesungguhnya
pencapaian (kepada Kesatuan itu) hanya mungkin dengan tubuh, seperti
mi’rajnya Rasulullah Saw yang sesungguhnya bermi’raj dengan tubuhnya
pula. Tegasnya, jiwa-jiwa (seperti itulah) yang tahu dan beramal, yang
meninggalkan segala yang patut ditinggalkan dan menarik diri sepenuhnya
dari segala sesuatu selain Allah dengan pertolongan cahaya Allah, yang
menghaluskan tubuh dengan riyadhah sehingga akhirnya sampai kepada-Nya.
6. sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya,
7. dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,
8. dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.
9. Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur,
10. dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada,
11. sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.
Inna al-insana li rabbihi lakanud (Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya–ayat
6) Allah bersumpah dengan kehormatan orang-orang yang bersyukur atas
berbagai nikmat-Nya, yang sampai ke haribaan-Nya melalui perantaraan
nikmat-nikmat itu; bersumpah bahwa sesungguhnya manusia kufur kepada
Tuhannya karena terhijab oleh berbagai nikmat itu, karena hanyut dalam
gelimang nikmat itu dan tak pernah memakainya untuk keperluan
mencapai-Nya.
Wa innahu ‘ala dzalika lasyahid (dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan [sendiri] keingkarannya–ayat
7); karena dengan pengetahuannya tentang keterhijaban dirinya,
kesaksian akal dan cahaya fitrahnya, sebenarnya ia tahu bahwa dirinya
tidak memenuhi hak-hak nikmat Allah, dan bersambalewa (lalai) di sisi
Allah karena kekufurannya.
Wa innahu li hubb al-khairi la syadid (Dan sesungguhnya manusia sangat bakhil karena cintanya kepada harta–ayat
8) Jelasnya, sesungguhnya ia sangat cinta dunia dan karenanya ia sangat
bakhil. Karena itu, ia terhijab oleh harta itu, membanting tulang
(memutar otak) untuk meraih dan mengumpulkannya serta enggan bersedekah;
Terabaikan olehnya dari Al-Haqq dan berpaling dari sisi-Nya. Atau ayat ini bisa juga berarti : Sesungguhnya ia sangat berpegang teguh (munqabidh) pada kebaikan yang mengantarkannya kepada Al-Haqq, tanpa sikap lembek dan kenal kompromi (munbasith).
Afala ya ‘lamu idza bu tsira ma fi al-qubur wa hushshila ma fi al-shudur (Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada–ayat
9-10) Maksudnya, setelah keterhijaban dan pelanggaran akal ini, apakah
ia masih tidak tahu juga dengan cahaya fitrah dan kekuatan akalnya
tentang apa yang ada di dalam “kubur” tubuhnya ketika dibangkitkan,
berupa jiwa-jiwa dan ruh? Dan ketika ditampakkan apa yang dikandung dada
atau hati berupa bentuk-bentuk amal, sifat, rahasia, niat yang
tersembunyi.
Inna rabbahum bihim yaumaidzin la khabir (Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka–ayat
11); Maha Tahu rahasia mereka, hati, amal batin dan amal lahir. Lalu
mereka akan dibalas sesuai dengan perhitungan-Nya yang adil. Wallahu a’lam.
(* Sumber : Isyarat Ilahi, Tafsir Juz Amma Ibn Arabi).
* Catatan Tafsir Juz Amma Ibnu Arabi yang lainnya, berjudul :
[1] Tafsir Surah Adh-Dhuha | Tafsir Juz Amma Ibnu Arabi
[2] Tafsir Surah Al- A’la | Tafsir Juz Amma Ibnu Arabi